Sunday, September 30, 2012

"Alep Berondok"



Diceritakan : Donny Philli

GILIRAN Ipul jaga, karena Dian berhasil menangkapnya pertama kali, berikut setelah tertangkapnya kawan-kawan yang lain. Ipul pun memulai menghitung dari 1 sampai 10, matanya ditutup dengan kedua lengannya dan menghadap ke dinding Masjid Jami' Kampung Aur.


"1... 2... 3... 4... 5... dst," hitungnya, para pemain, Aku, Dian, Raju, Tito, Rustam, Majid, Ison, Iwin dan Rudy, mulai berhamburan mencari tempat persembunyian yang aman. Ada yang dibawah kolong rumah, di bawah meja jualan, hingga berondok (sembunyi) di semak-semak pohon bambu di pinggir Sungai Deli, di malam yang gelap. Dedaunan bambu menari-nari diantara cahaya bulan, di Juni 1987.

Usai menghitung, Ipul melihat tak ada seorang pun kawan-kawannya, semuanya bersembunyi. Dengan menggunakan punggung tangan, dia mengusap matanya berkali-kali. Tatapan matanya liar, menyisir setiap sudut halaman masjid tersebut. Kepalanya terus bergerak, ke kiri dan ke kanan, mengawasi setiap pergerakan yang mencurigai.

Di balik meja jualan Tek Mar, Ipul melihat ada sosok kepala yang menyembul, samar dan tak teridentifikasi. Dengan yakin, didatanginya tempat itu sambil tubuhnya berputar-putar mengawasi setiap pergerakkan yang muncul, matanya liar namun terfokus pada sosok di balik meja jualan punya Tek Mar itu.

Tiba-tiba sosok dibalik meja itu berkelebat cepat, berlari ke arah Ipul menuju dinding masjid sebagai sarangnya agar dapat disentuhnya. Akan tetapi jarak Ipul lebih dekat dengan dinding masjid itu. Dan dengan refleks, Ipul cepat membalikkan badan berlari menuju sarangnya.

"Titooo... Tiiinn...," teriak Ipul sambil menyentuh dinding tersebut. Tito pun pasrah, dia lalu terduduk lemas di batu teras masjid, nafasnya terengah-engah, keringat bercucuran. Begitu juga dengan Ipul.

Satu persatu teman yang lain tertangkap. Dian dan Raju tertangkap saat akan menyerbu dengan memakai penutup kain sarung. Majid dibalik dinding masjid. Ison, Iwin dan Rudy tertangkap di bawah kolong rumah orang. Dan tinggal aku dengan Rustam yang belum tertangkap.

Kami berdua sedang berondok di atas loteng (lantai 2) rumah orang, sambil asyik menikmati tayangan TV bersama pemilik rumah dan sejumlah tetatangga. Konon, saat itu pemilik TV hanya beberapa rumah yang ada, sehingga banyak tetangga yang menumpang menonton TV di rumah orang yang memilikinya.

Sesekali Rustam mengintip dari balik jendela, melihat kearah dinding masjid yang dijaga Ipul. Kawan-kawan yang tertangkap duduk dibatu teras masjid. Mereka terlihat gelisah berharap agar kami melepaskan mereka.

"Udah. Yok, kita bikin locak dia," aja Rustam padaku. Lalu kami turun dari loteng rumah itu, mengendap-endap, dan memasang strategi untuk bikin Ipul locak (jaga lagi).

Siasat pun digelar, kami berdua berpencar, Aku di sebelah kiri, Rustam sebelah kanan, menunggu saat yang tepat untuk menyentuh dinding masjid yang dijaga Ipul. Aku lihat Rustam berondok di bawah kolong rumah, sedangkan aku berondok di balik pohon bambu pinggir parit besar.

Rustam sengaja mencari perhatian dengan pura-pura batuk. Tito yang tertangkap mengetahui siasat kami, lalu ia sengaja mengangeki (memanas -manasi) Ipul.

"Aku tahu dimana orang itu...?" angek Tito. Ipul pun merespon lebih waspada, matanya kali ini lebih liar, tubuhnya berputar-putar mengawasi sekeliling. Asal suara batuk Rustam pun diketahuinya tetapi dia ragu siapa pemilik suara batuk itu.

Lalu Ipul mencoba mendekati kolong rumah itu, dilihatnya sebagian kepala menyembul samar-samar, namun sosok itu tetap diam. Begitu ingin memastikan lebih dekat, tiba-tiba Rustam keluar, berlari ke arah dinding masjid. Ipul pun berusaha berlari lebih cepat. Adu kecepatan terjadi dan Ipul lebih cepat dari Rustam. Tetapi...? Ipul tak lebih cepat dariku.

Ipul lemas seketika, ketika dia melihat aku sudah berdiri di dinding masjid dengan tangan kiri menyentuh dinding itu dan tangan kanan berkecak pinggang. "Tiiinnn...," teriak ku. Kawan-kawan tertawa gembira sambil mengejek.

"Ipul locak... Ipul locak... Ipul locak...," ejek kawan-kawan. Hati Ipul pun panas, di merajuk tak mau jaga lagi. Air matanya bercucuran, ia menangis sambil pulang ke rumah. Ejekan pun berhenti bersamaan menghilangnya dirinya....***

"Mariam Tomboy"



Diceritakan : Donny Philli

“OH… Mariam Tomboy Mak Inang, Si Japang Mati…, Oh… Mariam Tomboy Mak Inang, Si Japang Mati… Oh… Mariam Tomboy Mak Inang, Si Japang Mati…” Dengan semangat, anak-anak Kampung Aur menyanyikan lagu plesetan yang nadanya diambil dari film Naga Bonar, dibawah Jembatan HVH Jalan Letjend Soeprapto, di pinggir Sungai Deli, Kampung Aur.


Meskipun nadanya mirip, namun liriknya diubah-ubah. Lagu ini selalu terdengar tatkala memasuki awal Bulan Suci Ramadhan, 20 tahun yang lalu, saat umat Islam menjalankan ibadah puasa, dan saat aku berusia 12 tahun.

Di bawah kolong jembatan HVH, Kampung Aur itu, aku dan sejumlah kawan-kawan dengan semangat memotong sebatang bambu, yang tumbuh tepat dibibir Sungai Deli. Semak-semak dan timbunan sampah tak menjadi penghalang, meskipun miang bambu sudah melekat ditubuh kami yang mulai mengalami gatal-gatal.

 “Win…! Cepatlah kau potong bambunya, lama kali pun,” desak Rustam yang sudah menggaruk-garukkan kakinya yang gatal kepada temanku Iwin yang sedang menebas batang bambu dengan parang, sedangkan aku memegang batang bambu itu sambil memejamkan mata karena telah kemasukkan miang bambu.

 “Byurr…!?” aku terjun ke sungai bersamaan batang bambu yang sudah lepas dari akarnya untuk dibersihkan miangnya. Kawan yang lain ikut juga menceburkan diri untuk menghilangkan gatal-gatal dibadan yang sudah memerah.

Bambu yang dipilih adalah bambu yang sudah tua, batangnya bulat besar dan bunyinya nyaring. Setelah bambu terpotong, kemudian bambu itu dipotong lagi menjadi tiga bagian, panjang tiap potongan bambu sekitar 1,5 meter.

Setiap ruasnya dijebol kecuali ruas yang terakhir, karena ruas yang terakhir ini berguna untuk menampung minyak tanah. Di sekitar buntut bambu di lubangi agar minyak tanah bisa masuk dan bisa digunakan sebagai pemicu letupan.

Ketika bambu sudah selesai jadi meriam, beberapa anak-anak mulai memikulnya dan mencari posisi yang pas untuk penempatan meriam. Sore pun menjelang, anak-anak Kampung Aur ini pun segera pulang untuk menyambut malam pertama Tarawih. Terdengar lagu, Oh… Mariam Tomboy Mak Inang, Si Japang Mati, yang dinyanyikan ramai-ramai.

Kampung Aur bertetangga dengan Jalan Badur dan termasuk satu Kecamatan Medan Maimun namun beda kelurahan. Kampung Aur terletak di Kelurahan Aur dan Jalan Badur terletak di Kelurahan Hamdan, yang memisahkan keduanya adalah Sungai Deli.

Konon dulu, semua tetangga Kampung Aur, seperti, Gang Meriam, Pantai Burung, Jalan Badur dan Jalan Mangkubumi, selalu mendapat intimidasi dari anak-anak Kampung Aur. Jika sudah mendengar nama Kampung Aur, para tetangganya selalu ciut dan takut, karena keberanian dan kenekadan anak-anak Kampung Aur, yang memang terkenal nakal. Bahkan daerah luar pun sempat keder mendengar nama Kampung Aur.

Lagu Mariam Tomboy, adalah plesetan nama seorang cewek bernama Mariam yang memang tomboy, tinggal di Jalan Badur, yang setiap hari mandi di tepian sungai selalu memakai pakaian basah yang tembus pandang, sedangkan Mak Inang adalah sosok ‘omak-omak’ Kampung Aur, yang selalu cerewet dan ditakuti anak-anak. Lalu nama Si Japang, adalah nama orang tua Jalan Badur, yang mempunyai anak yang bermacam tingkah, ada bandal, banci dan goblok, sehingga kerap nama bapaknya disebut-sebut. Semuanya, Maaf Ya…!

Saat malam tiba, selesai Shalat Tarawih di Masjid Jami’ Kampung Aur, puluhan anak-anak usia 9 sampai 13 tahun berhamburan keluar masjid. Mereka menuju ke kolong jembatan HVH, sejumlah anak-anak rupanya sudah memulai permainan Meriam Bambu. Suara letupan dari meriam bambu itu cukup memekakkan telinga, ada juga meriam bambu yang masuk angin, sehingga suara letupannya terdengar seperti kentut, "Pussshhh".

Anak-anak Jalan Badur juga sudah memulai ‘pertempuran’. Suara teriak, letupan meriam, ledakan mercon bercampur dengan deru kendaraan yang lalu lalang dari atas jembatan sana sehingga terdengar meriah. Anak-anak seberang kerap menggunakan lumpur sebagai senjatanya saat ditembakkan dari meriam bambu.

Pertempuran memasuki tahap yang memanas, anak-anak Kampung Aur, tidak kalah sengit membalas setiap tembakan meriam bambu yang ditembakkan dari anak-anak Jalan Badur.

Agar pertempuran ini dimenangkan anak Kampung Aur, meriam bambu di service, lubang pemicu digosok-gosok, diisi minyak tanah, lalu lubangnya dibakar. Begitu seterusnya sampai suaranya benar-benar dahsyat. Jika anak-anak Jalan Badur mampu menembakkan lumpur sampai bibir sungai saja, maka anak-anak Kampung Aur mampu menghujani lumpur kebadan anak-anak sebarang sana.

Tetapi, lumpur terlalu berat untuk ditembakkan, dan dampaknya tidak terlalu besar. Anak-anak Kampung Aur mulai mencari akal, bagaimana agar ‘musuh’ bisa kalah. Maka ditemukan suatu ide cemerlang tapi menjijikkan, yakni, kotoran manusia yang hanyut sebagai pelurunya.

 “Dian, kau tampung taik kau,” perintah Rustam kepada Dian yang kebetulan sedang buang air besar. Aku bersiap di belakang meriam, tongkat obor siap dinyalakan dan siap meletupkan meriam bambu itu.

Bergegas Dian menangkap kotorannya itu dan dimasukkan ke dalam plastic kresek, lalu 'Taik' itu dimasukkan ke dalam mulut meriam, aku siap menyulutkan api di dalam lubang kecil di pantat meriam. Begitu disulut,

"Duarrr...," suara menggema keluar dengan dahsyatnya disertai dengan mencurahnya kotoran manusia tadi, jauh ke sebarang sungai dan tepat mengenai sasaran.

Sejumlah anak-anak Jalan Badur berhamburan terjun ke dalam sungai, muka dan badan mereka berlepotan kotoran Si Dian. Anak-anak Jalan Badur itu mencak-mencak sambil mengeluarkan kata-kata kotor. Tetapi tembakan meriam berisi kotoran manusia terus ditembakkan sehingga anak-anak Jalan Badur kabur meninggalkan meriamnya.

Nyanyian kemenangan pun terdengar. “Oh… Mariam Tomboy Mak Inang, Si Japang Mati... Oh… Mariam Tomboy Mak Inang, Si Japang Mati... Oh… Mariam Tomboy Mak Inang, Si Japang Mati...” Rampasan perang pun berhasil kami peroleh. ##

CEWEK VS COWOK

1.Cewek mao nggabung ke mobil yang udah penuh cowok
Kata Cowok2 : ga apa2, ayo sini, kalo dipangku masih cukup kok.

Cowok mao nggabung ke mobil yang udah penuh cewek
Kata Cewek2 : enak aja!!! mao cari kesempatan dalam kesempitan ya?

2. Cewek mengerjakan pekerjaan cowok (presiden, direktur, polisi)
Kata Cowok2 : emansipasi wanita

Cowok mengerjakan pekerjaan cewek (babysitter, pembantu)
Kata Cewek2 : Di Indonesia cari kerjaan emang susah, jangan terlalu milih2.

3. Cewek diggangguin preman
Kata Cowok2 : Kasian tuh, ayo kita tolongin

Cowok digangguin preman
Kata Cewek2 : Salah sendiri cari urusan ma tu preman

4. Cewek nuangin minuman buat cowoknya
Kata Cowok2 : Calon istri idaman

Cowok nuangin minuman buat ceweknya
Kata Cewek2 : ISTI ( Ikatan Suami Takut Istri)

5. Cewek cantik, kaya, baik hati, sudah dewasa, dan masih lajang
Kata Cowok2 : Perfecsionis, sedang menunggu calon suami yang tepat

Cowok cakep, Kaya, Baik hati, sudah dewasa, dan juga masih lajang
Kata Cewek2 : Kalo ga impoten berarti gay.

6. Istriku dandan sampe setengah jam sebelum pergi
Kata Cowok2 : Begitulah cewek, maklum aja..

Suamiku dandan sampe setengah jam sebelum pergi
Kata Cewek2 : jangan2 suamimu selingkuh tuh..

7. Cewek pake baju cowok
Kata Cowok2 : Tomboi

Cowok pake baju cewek
Kata Cewek2 : Banci, amit-amit deh

8. Cewek lesbi
Kata Cowok2 : Pasti gara2 dia sering disakitin sama cowok

Cowok Homo
Kata Cewek2 : Pasti gara2 ga ada cewek yang mau.

9. Cewek liat bokep
Kata Cowok2 : namanya aja juga penasaran, wajar..

Cowok liat bokep
Kata Cewek2 : Semua Cowok emang gitu, ga ada yang bener!!

10. Cewekku ke salon 3 kali seminggu, apa ga kebangetan coba?
Kata Cowok2 : Itu namanya merawat diri, kalo cewekmu cantik kan kamu juga yg senang

Cowokku ke salon 3 kali seminggu, apa ga kebangetan coba?
Kata Cewek2 : Jangan2 salonnya salon plus-plus.

11. Cewekku tu blom puas kalo mandinya blom sampe satu jam
Kata Cowok2 : Kalo ga gitu namanya bukan cewek!

Cowok mandi ampe satu jam
Kata cewek2 : Mencurigakan, pasti di dalam dia lg ^&%$%

12. Cewek pergi ke dokter kulit & kelamin
Kata Cowok2 : pasti lagi konsultasi tentang kulitnya

Cowok pergi ke dokter kulit & kelamin
Kata Cewek2 : Pasti lagi kena sipilis!

Saturday, September 29, 2012

"Cambuk Pak Sagir"

Diceritakan : Donny Philli

SHALAT Tarawih 23 rakaat baru saja selesai. Pak Sagir, penjaga Masjid Jami' Kampung Aur mulai menutup pintu masjid satu persatu. Lampu dimatikan. Hanya bagian saf laki-laki saja yang masih dihidupkan, karena beberapa jemaah, terdiri dari kaum ibu, kaum bapak dan remaja masjid sedang tadarus, membaca ayat-ayat suci Al Quran.


Sejumlah anak-anak tampak bermain-main di sekitar halaman belakang masjid. Bermain mercon dan kembang api. Suara ribut membahana hingga ke dalam masjid membuat Pak Sagir marah. Suara lecutan cambuknya terdengar bak petir mengalahkan suara mercon. Anak-anak yang mendengarnya langsung kabur, takut terkena sambaran cambuk orang tua berusia hampir 70 tahun itu.

Aku selalu teringat saat Pak Sagir marah. Dia selalu membawa cambuknya kemana pun dia pergi. Cambuk itu panjangnya dua meter, sangat terkenal dan sangat ditakuti anak-anak masa itu. Aku pernah terkena cambuk Pak Sagir, saat sedang ribut bersama kawan-kawan ketika sedang shalat tarawih di lantai dua masjid yang terbuat dari papan.

Ketika bilal sedang membaca doa shalawat, kami selalu memplesetkan jawabannya. "Allahumashalli wa shalim ala Syaidina Muhammaaad....," yang lain menjawab "Allahumashalli wa shalim wa laiiik..." dan kami malah menjawab "Allooooo.... Pak Sageeerrr....".

Dari belakang tiba-tiba Pak Sagir melecut kami dengan cambuknya. Yang terkena cambuk sakitnya luar biasa. Bagi yang tidak tahan menahan rasa sakit langsung menangis. Pak Sagir terus mengejar kami yang berhamburan turun dari lantai dua sambil mengejek Pak Sagir. Suara gaduh dari lantai dua membuat para jemaah dibawahnya ikut memarahi kami.

Meskipun telah Almarhum sekitar 25 tahun yang lalu, Pak Sagir dengan cambuknya selalu kami ingat. Setiap bulan Ramadhan, kami selalu bercerita tentang Pak Sagir sambil tertawa-tawa lucu...***
     
(Tulisan ini juga kami dedikasikan untuk Almarhum Pak Sagir, yang telah membuat kami mengerti tentang shalat yang benar)

Friday, September 28, 2012

"Peristiwa Aneh Sebuah Jenazah"

Ini adalah kisah nyata, kisah proses penguburan seorang pejabat di sebuah kota di Jawa Timur. Nama dan alamat sengaja tidak disebutkan untuk menjaga nama baik jenazah dan keluarga yang ditinggalkan. Insya Allah kisah ini menjadi hikmah dan cermin bagi kita semua sebelum ajal menjemput.


Kisah ini diceritakan langsung oleh seorang modin (pengurus jenazah) kepada saya. Dengan gaya bertutur, selengkapnya ceritanya begini:

"Kena Bengek"


Diceritakan : Alwin Syahputra

DONI locak, dia jaga kali ini. Kami mengambil ancang-ancang menjauh dari jangkauannya melempar bola. Sebab lemparan bolanya sangat berbahaya. Selain tepat sasaran, lemparannya juga sangat kuat. Kalau terkena badan, rasanya sangat sakit sekali, pedas. Kami menyebutnya “kena bengek”.


illustrasi
Punggungku saja merah-merah bekas lemparan bola yang terbuat dari plastik seukuran bola kasti itu. Siapa yang tidak tahan menahan lemparan itu, pasti dia menangis. Tapi kali ini kami harus hati-hati dan lebih gesit lagi menghindari lemparan bolanya.

“Awas…! Woiii…!!,” teriak kawan-kawan agar menjauh dari jangkauan lemparan Si Doni.

Doni tampak menggenggam bola plastik itu, dia mengamati sekeliling halaman masjid yang selebar lapangan bulutangkis itu. Sesekali dia menggertak dengan berpura-pura melempar lawannya yang mendekat. Yang digertak pun berkelit-kelit menghindar.

Permainan ini kami namakan “Bola Bengek”. Main bola bengek ini sangat populer di era tahun 80 hingga 90an. Aturannya, pemain yang jaga tidak boleh bergerak selangkah pun dari posisinya untuk melempar bola mengenai lawannya. Sebelum permainan dimulai, pemain harus diundi dulu mencari siapa pemain yang jaga. Cara pengundiannya adalah wang (membalikkan telapak tangan secara bersama-sama) dan diakhiri dengan suit apabila sudah satu lawan satu.

Pemain lawan yang terkena lemparan tidak boleh bermain lagi dan menunggu sampai pemain-pemain lain kena bengek. Jumlah permainan bola bengek ini tidak terbatas asal lebih dari dua orang. Pemain yang jaga atau locak adalah pemain yang pertama kali kena bengek.

Apabila pemain jaga melempar bola ke arah pemain lawan namun tidak mengenai sasaran, maka pemain lawan boleh menendang bola itu jauh-jauh atau mengover (membagi) ke pemain lainnya sehingga pemain yang jaga berusaha mengejar dan memungut bola itu kembali dan melemparkannya kepada pemain lawan.

Kami yang sudah menyebar tidak boleh lengah dan menjauh dari jangkauan lemparan Doni kalau tidak ingin kena bengek. Gertakan Doni membuat kami jingkrak-jingkrak dan berkelit karena takut terkena lemparannya.

Tiba-tiba Doni melempar Alim. Alim yang sadar dilempar berusaha menghindar dan bola tidak mengenainya. Maka dengan cepat, Alim menendang bola itu jauh-jauh ke arah teman-teman yang lain. Doni pun mengejar bola itu, namun bola itu mengarah ke kaki  Tito dan Tito menendang bola itu ke arah Aku.

Aku yang tidak sangka kedatangan bola yang sangat cepat bergegas menendang bola itu, tapi tendanganku meleset dan Doni dengan cepat berusaha mengambil bola itu, tapi aku sudah terlanjur lari dan bersembunyi di tiang listrik.

Jarak Doni dan aku hanya 5 meter, dia berhasil mengambil bola itu dan mencoba melemparkannya ke arah aku. Aku yang bertubuh kurus itu mencoba mensejajarkan diri dengan tiang listrik. Doni menggertak-gertak agar aku keluar dari tempat persembunyian tapi aku tetap bertahan di balik tiang listrik.

Doni pun tak habis akal, dia lalu mengambung-ambungkan bola itu setinggi kepalanya sambil melangkah. Cara seperti itu diperbolehkan dalam permainan ini, agar dapat menjangkau pemain lawan. Dia sudah begitu dekat dengan ku dan kami seperti bermain Ci luk Ba...

Tiba-tiba Doni melemparkan bola itu ke arahku dan aku yang sadar akan dilempar segera berlari ke arah yang lain. Akibatnya bola lemparan Doni tidak mengenaiku.

“Aduuhh….!?” teriak seseorang sambil memaki-maki.

Orang itu adalah orang dewasa abangan kami yang sedang duduk di bangku panjang di sebuah kedai Mak Inong. Dia kesakitan karena punggungnya di bengek Si Doni. Doni tidak sengaja mengenai orang itu karena aku tadi menghindar dari lemparannya.

Orang dewasa itu tampaknya sedang kesal dan mengejar Si Doni. Lalu dia memukuli Doni bertubi-tubi hingga membuat Doni menangis. Permainan bola bengek terpaksa kami hentikan karena salah satu kawan kami sedang dipukuli orang dewasa, selain itu bola bengek kami disita orang dewasa itu.***

Thursday, September 27, 2012

"BEDAPIK"

Tepian Sungai Deli, Kampung Aur

Diceritakan : Donny Philli

 

KETIKA musim banjir kampung kami pasti ikut juga terendam. Kampung Aur yang berada di tengah Kota Medan, persis terletak di pinggiran Sungai Deli. Biasanya setiap musim banjir, anak-anak Kampung Aur, kegirangan.  

 

Waktu itu aku masih berusia 9 tahun, dengan bertelanjang badan tanpa sehelai benang pun, lazimnya anak-anak, bersama kawan-kawan pergi ke jembatan Jalan Letjend Soeprapto, yang dikenal dengan sebutan jembatan HVA, adalah satu-satunya jembatan di Kampung Aur.

 

Dari atas pagar besi jembatan buatan Kolonial Belanda tahun 1912 itu, kami melakukan uji nyali. Secara bergantian, kami terjun dari pagar jembatan itu mencebur ke dalam sungai yang airnya dalam berwarna kuning berlumpur mengalir dengan deras, disertai sampah-sampah dari batang dan ranting pepohonan yang hanyut terbawa banjir. Brrr...! Dingin sekali.

Macam-macam gaya kami ketika terjun ke sungai yang cukup dalam itu. Iwin, Rustam, Ison dan Tito terjun dengan gaya bebas yang biasa-biasa saja, sedangkan Idus, Iim, Wilman mencoba dengan gaya terjun meluncur bak Superman yang sedang terbang (kami menyebutnya lompat kepala). Yang lain, Agus dan Dian mencari teknik sendiri dengan gaya salto. Ada yang salto dengan posisi membelakangi sungai dan salto menghadap sungai (salto depan).

Sedangkan aku meskipun bisa semuanya, lebih suka dengan gaya salto belakang, karena saat penceburan di air selalu dengan posisi bagus. Asyik rasanya. Pernah aku mencoba dengan gaya salto depan, namun saat mencebur posisi tubuhku tertelungkup. Akibatnya, yang duluan sampai dipermukaan air adalah muka, dada dan paha.

"Ctaasshh," bunyi suara tubuh menghantam air, seperti bunyi tepukan telapak tangan. "Bedapik" istilahnya. Sayup-sayup terdengar suara terkekeh-kekeh dari atas sana, teman-teman meledekku. Mereka menyusulku ikut melompat.

Spontan seluruh tubuhku merasakan sakit yang teramat perih, aku tidak kuasa menahan rasa sakit yang seperti dipukul pakai kayu penggaris oleh guru. Tubuhku tenggelam, hanyut terbawa arus yang berhilir ke Belawan. Ada semenit lamanya aku di dalam air, namun belum juga muncul kepermukaan. Kurasakan dada perih, napas tertahan dan telinga berdengung. Tetapi kemudian aku mampu menahannya dan rasa sakit itu berangsur-angsur hilang.

Jembatan HVA Jalan Letjend Soeprapto Tahun 1995
Ketika muncul kepermukaan, aku dengan cepat segera mengambil napas, meski pun dengan sisa-sisa tenaga yang kumiliki. Posisiku hanyut di sungai yang berlika-liku itu sejauh 200 meter dari jembatan HVH. Bahkan jembatan Kampung Aur itu tidak kelihatan lagi. Aku terus berusaha berenang ke pinggiran sungai, tepatnya di kawasan Jalan Badur, rimbunan pohon bambu menghalangi pandanganku. Mencari tepian papan yang dibuat orang untuk keperluan sehari-hari, seperti mandi, cuci dan kakus, yang saat itu tak tampak karena tenggelam oleh air banjir. Kulihat teman-teman lain juga ikut terbawa arus yang deras, karena sulitnya menggapai tepian yang terdekat.

Dengan menggunakan tangan kiri, aku berusaha mencari, meraba dan menyambar tepian-tepian hingga akhirnya aku mampu mengait sebatang tiang kayu yang papannya sudah hilang, tiang kayu itu aku genggam kuat, tubuh kecilku ditarik arus.

"Croooth", paku berkarat ukuran 2 inci menembus telapak tanganku. Genggamanku terlepas, namun tangan kananku berusaha memegang tiang kayu lainnya dan berhasil naik ketepian. Kurasakan darah mengalir, kulihat lukanya tidak terlalu lebar tapi tembusnya cukup dalam. Darah yang tumpah hilang berbaur dengan air sungai yang berlumpur.

Dalam keadaan ngilu-ngilu sakit, aku keluar dari air, darah terus mengucur dari lubang sebesar paku. Perih dari Bedapik tadi mulai terasa setelah angin menghembusnya, sekujur tubuhku memerah. Air mataku menetes bercucuran bersamaan raungan tangis kesakitan.

Dalam perjalanan menuju ke jembatan, aku meminta sedikit minyak tanah di sebuah kedai kelontong di Jalan Badur untuk menghentikan pendarahan ditanganku, namun darah dan perihnya tak juga hilang. Orang-orang yang melihat mulai menginterogasiku, aku cuek, lalu kuputuskan untuk pulang.

Sesampai di rumah, air masih setinggi pinggangku, Bapak ku marah-marah setelah melihat tanganku berdarah, yang berusaha kusembunyikan di belakang punggungku. Bapak ku memaksa ingin melihat luka itu, tetapi aku takut, karena takut disentuhnya. Tempelengan kecil mendarat di jidatku, disertai omelan Bapak ku.

Banjir Kampung Aur Tahun 2011
Ketika aku mengatakan tanganku luka tertancap paku, Bapak ku langsung mengambil kotak korek api dari saku bajunya, lalu beberapa pentol korek api itu dikeluarkan. Dia meraih tanganku dan aku menjerit sejadi-jadinya. Dia bersihkan sisa-sisa darah yang mengering di sekitar luka. Lalu sebuah pentol korek api diambil mesiunya, dijadikan serbuk, dan ditaburkan tepat diatas luka. Aku hanya bisa melihat apa yang dilakukan Bapak ku, dengan rasa ngeri yang luar biasa.

Kemudian sebuah pentol lagi diambil, tangan kirinya memegang kotak korek api itu dan tangan kanannya dalam posisi siap menyalakan pentol korek api itu ke bagian pemantik berwarna coklat yang terletak disamping kotak korek api itu.

"Crasshh...!!?" pentol korek api itu mengeluarkan api, marak, lalu api itu tenang. Tak lama, Bapak ku mendekatkan api itu kearah serbuk mesiu korek api yang terletak di mulut luka di telapak tanganku. Tanganku digenggamnya.

Dan sekali lagi, "Crasshh...!!?" mesiu korek api itu menyala, membakar luka, lalu padam. Asap putih membumbung tinggi, menghilang ditiup angin. Dengan refleks aku tarik tangan ku dari genggaman Bapak ku, dan tangan kananku menggenggam erat pergelangan tangan yang terluka itu. Aku menjerit sekuat-kuatnya karena sakit yang teramat sangat. Luka itu tampak memutih tanda bekas mesiu yang terbakar, berdenyut disertai bau daging terbakar melintas di hidungku. Cucuran air mata kian bertambah deras.

Tetapi Bapak ku mengulanginya sampai ketiga kali, sampai cairan darah berhenti mengalir, denyutnya pun mulai menghilang dan aku tidak lagi merasakan sakit. Pengobatan ala Bapak ku itu benar-benar menyiksa tapi membuyarkan rasa penderitaanku. Usai melakukan pengobatan alternatif, Bapak ku mengatakan, itu (cara seperti itu) ampuh menghentikan pendarahan, rasa sakit dan membunuh bakteri penyebab tetanus dan infeksi.

Aku mengangguk bukan karena mengerti. Toh, akhirnya luka itu sembuh juga dalam 3 hari. Sejak saat itu, ketika kaki dan telapak tanganku terkena paku, tanpa bantuan Bapak ku, aku melakukan pengobatan itu sendiri, sampai sekarang... Allahu 'Alam. 

**** Jangan meniru cara pengobatan seperti itu. Aku pun tidak tahu kenapa itu bisa berhasil..