Sunday, September 30, 2012

"Mariam Tomboy"



Diceritakan : Donny Philli

“OH… Mariam Tomboy Mak Inang, Si Japang Mati…, Oh… Mariam Tomboy Mak Inang, Si Japang Mati… Oh… Mariam Tomboy Mak Inang, Si Japang Mati…” Dengan semangat, anak-anak Kampung Aur menyanyikan lagu plesetan yang nadanya diambil dari film Naga Bonar, dibawah Jembatan HVH Jalan Letjend Soeprapto, di pinggir Sungai Deli, Kampung Aur.


Meskipun nadanya mirip, namun liriknya diubah-ubah. Lagu ini selalu terdengar tatkala memasuki awal Bulan Suci Ramadhan, 20 tahun yang lalu, saat umat Islam menjalankan ibadah puasa, dan saat aku berusia 12 tahun.

Di bawah kolong jembatan HVH, Kampung Aur itu, aku dan sejumlah kawan-kawan dengan semangat memotong sebatang bambu, yang tumbuh tepat dibibir Sungai Deli. Semak-semak dan timbunan sampah tak menjadi penghalang, meskipun miang bambu sudah melekat ditubuh kami yang mulai mengalami gatal-gatal.

 “Win…! Cepatlah kau potong bambunya, lama kali pun,” desak Rustam yang sudah menggaruk-garukkan kakinya yang gatal kepada temanku Iwin yang sedang menebas batang bambu dengan parang, sedangkan aku memegang batang bambu itu sambil memejamkan mata karena telah kemasukkan miang bambu.

 “Byurr…!?” aku terjun ke sungai bersamaan batang bambu yang sudah lepas dari akarnya untuk dibersihkan miangnya. Kawan yang lain ikut juga menceburkan diri untuk menghilangkan gatal-gatal dibadan yang sudah memerah.

Bambu yang dipilih adalah bambu yang sudah tua, batangnya bulat besar dan bunyinya nyaring. Setelah bambu terpotong, kemudian bambu itu dipotong lagi menjadi tiga bagian, panjang tiap potongan bambu sekitar 1,5 meter.

Setiap ruasnya dijebol kecuali ruas yang terakhir, karena ruas yang terakhir ini berguna untuk menampung minyak tanah. Di sekitar buntut bambu di lubangi agar minyak tanah bisa masuk dan bisa digunakan sebagai pemicu letupan.

Ketika bambu sudah selesai jadi meriam, beberapa anak-anak mulai memikulnya dan mencari posisi yang pas untuk penempatan meriam. Sore pun menjelang, anak-anak Kampung Aur ini pun segera pulang untuk menyambut malam pertama Tarawih. Terdengar lagu, Oh… Mariam Tomboy Mak Inang, Si Japang Mati, yang dinyanyikan ramai-ramai.

Kampung Aur bertetangga dengan Jalan Badur dan termasuk satu Kecamatan Medan Maimun namun beda kelurahan. Kampung Aur terletak di Kelurahan Aur dan Jalan Badur terletak di Kelurahan Hamdan, yang memisahkan keduanya adalah Sungai Deli.

Konon dulu, semua tetangga Kampung Aur, seperti, Gang Meriam, Pantai Burung, Jalan Badur dan Jalan Mangkubumi, selalu mendapat intimidasi dari anak-anak Kampung Aur. Jika sudah mendengar nama Kampung Aur, para tetangganya selalu ciut dan takut, karena keberanian dan kenekadan anak-anak Kampung Aur, yang memang terkenal nakal. Bahkan daerah luar pun sempat keder mendengar nama Kampung Aur.

Lagu Mariam Tomboy, adalah plesetan nama seorang cewek bernama Mariam yang memang tomboy, tinggal di Jalan Badur, yang setiap hari mandi di tepian sungai selalu memakai pakaian basah yang tembus pandang, sedangkan Mak Inang adalah sosok ‘omak-omak’ Kampung Aur, yang selalu cerewet dan ditakuti anak-anak. Lalu nama Si Japang, adalah nama orang tua Jalan Badur, yang mempunyai anak yang bermacam tingkah, ada bandal, banci dan goblok, sehingga kerap nama bapaknya disebut-sebut. Semuanya, Maaf Ya…!

Saat malam tiba, selesai Shalat Tarawih di Masjid Jami’ Kampung Aur, puluhan anak-anak usia 9 sampai 13 tahun berhamburan keluar masjid. Mereka menuju ke kolong jembatan HVH, sejumlah anak-anak rupanya sudah memulai permainan Meriam Bambu. Suara letupan dari meriam bambu itu cukup memekakkan telinga, ada juga meriam bambu yang masuk angin, sehingga suara letupannya terdengar seperti kentut, "Pussshhh".

Anak-anak Jalan Badur juga sudah memulai ‘pertempuran’. Suara teriak, letupan meriam, ledakan mercon bercampur dengan deru kendaraan yang lalu lalang dari atas jembatan sana sehingga terdengar meriah. Anak-anak seberang kerap menggunakan lumpur sebagai senjatanya saat ditembakkan dari meriam bambu.

Pertempuran memasuki tahap yang memanas, anak-anak Kampung Aur, tidak kalah sengit membalas setiap tembakan meriam bambu yang ditembakkan dari anak-anak Jalan Badur.

Agar pertempuran ini dimenangkan anak Kampung Aur, meriam bambu di service, lubang pemicu digosok-gosok, diisi minyak tanah, lalu lubangnya dibakar. Begitu seterusnya sampai suaranya benar-benar dahsyat. Jika anak-anak Jalan Badur mampu menembakkan lumpur sampai bibir sungai saja, maka anak-anak Kampung Aur mampu menghujani lumpur kebadan anak-anak sebarang sana.

Tetapi, lumpur terlalu berat untuk ditembakkan, dan dampaknya tidak terlalu besar. Anak-anak Kampung Aur mulai mencari akal, bagaimana agar ‘musuh’ bisa kalah. Maka ditemukan suatu ide cemerlang tapi menjijikkan, yakni, kotoran manusia yang hanyut sebagai pelurunya.

 “Dian, kau tampung taik kau,” perintah Rustam kepada Dian yang kebetulan sedang buang air besar. Aku bersiap di belakang meriam, tongkat obor siap dinyalakan dan siap meletupkan meriam bambu itu.

Bergegas Dian menangkap kotorannya itu dan dimasukkan ke dalam plastic kresek, lalu 'Taik' itu dimasukkan ke dalam mulut meriam, aku siap menyulutkan api di dalam lubang kecil di pantat meriam. Begitu disulut,

"Duarrr...," suara menggema keluar dengan dahsyatnya disertai dengan mencurahnya kotoran manusia tadi, jauh ke sebarang sungai dan tepat mengenai sasaran.

Sejumlah anak-anak Jalan Badur berhamburan terjun ke dalam sungai, muka dan badan mereka berlepotan kotoran Si Dian. Anak-anak Jalan Badur itu mencak-mencak sambil mengeluarkan kata-kata kotor. Tetapi tembakan meriam berisi kotoran manusia terus ditembakkan sehingga anak-anak Jalan Badur kabur meninggalkan meriamnya.

Nyanyian kemenangan pun terdengar. “Oh… Mariam Tomboy Mak Inang, Si Japang Mati... Oh… Mariam Tomboy Mak Inang, Si Japang Mati... Oh… Mariam Tomboy Mak Inang, Si Japang Mati...” Rampasan perang pun berhasil kami peroleh. ##

No comments:

Post a Comment