Thursday, September 27, 2012

"BEDAPIK"

Tepian Sungai Deli, Kampung Aur

Diceritakan : Donny Philli

 

KETIKA musim banjir kampung kami pasti ikut juga terendam. Kampung Aur yang berada di tengah Kota Medan, persis terletak di pinggiran Sungai Deli. Biasanya setiap musim banjir, anak-anak Kampung Aur, kegirangan.  

 

Waktu itu aku masih berusia 9 tahun, dengan bertelanjang badan tanpa sehelai benang pun, lazimnya anak-anak, bersama kawan-kawan pergi ke jembatan Jalan Letjend Soeprapto, yang dikenal dengan sebutan jembatan HVA, adalah satu-satunya jembatan di Kampung Aur.

 

Dari atas pagar besi jembatan buatan Kolonial Belanda tahun 1912 itu, kami melakukan uji nyali. Secara bergantian, kami terjun dari pagar jembatan itu mencebur ke dalam sungai yang airnya dalam berwarna kuning berlumpur mengalir dengan deras, disertai sampah-sampah dari batang dan ranting pepohonan yang hanyut terbawa banjir. Brrr...! Dingin sekali.

Macam-macam gaya kami ketika terjun ke sungai yang cukup dalam itu. Iwin, Rustam, Ison dan Tito terjun dengan gaya bebas yang biasa-biasa saja, sedangkan Idus, Iim, Wilman mencoba dengan gaya terjun meluncur bak Superman yang sedang terbang (kami menyebutnya lompat kepala). Yang lain, Agus dan Dian mencari teknik sendiri dengan gaya salto. Ada yang salto dengan posisi membelakangi sungai dan salto menghadap sungai (salto depan).

Sedangkan aku meskipun bisa semuanya, lebih suka dengan gaya salto belakang, karena saat penceburan di air selalu dengan posisi bagus. Asyik rasanya. Pernah aku mencoba dengan gaya salto depan, namun saat mencebur posisi tubuhku tertelungkup. Akibatnya, yang duluan sampai dipermukaan air adalah muka, dada dan paha.

"Ctaasshh," bunyi suara tubuh menghantam air, seperti bunyi tepukan telapak tangan. "Bedapik" istilahnya. Sayup-sayup terdengar suara terkekeh-kekeh dari atas sana, teman-teman meledekku. Mereka menyusulku ikut melompat.

Spontan seluruh tubuhku merasakan sakit yang teramat perih, aku tidak kuasa menahan rasa sakit yang seperti dipukul pakai kayu penggaris oleh guru. Tubuhku tenggelam, hanyut terbawa arus yang berhilir ke Belawan. Ada semenit lamanya aku di dalam air, namun belum juga muncul kepermukaan. Kurasakan dada perih, napas tertahan dan telinga berdengung. Tetapi kemudian aku mampu menahannya dan rasa sakit itu berangsur-angsur hilang.

Jembatan HVA Jalan Letjend Soeprapto Tahun 1995
Ketika muncul kepermukaan, aku dengan cepat segera mengambil napas, meski pun dengan sisa-sisa tenaga yang kumiliki. Posisiku hanyut di sungai yang berlika-liku itu sejauh 200 meter dari jembatan HVH. Bahkan jembatan Kampung Aur itu tidak kelihatan lagi. Aku terus berusaha berenang ke pinggiran sungai, tepatnya di kawasan Jalan Badur, rimbunan pohon bambu menghalangi pandanganku. Mencari tepian papan yang dibuat orang untuk keperluan sehari-hari, seperti mandi, cuci dan kakus, yang saat itu tak tampak karena tenggelam oleh air banjir. Kulihat teman-teman lain juga ikut terbawa arus yang deras, karena sulitnya menggapai tepian yang terdekat.

Dengan menggunakan tangan kiri, aku berusaha mencari, meraba dan menyambar tepian-tepian hingga akhirnya aku mampu mengait sebatang tiang kayu yang papannya sudah hilang, tiang kayu itu aku genggam kuat, tubuh kecilku ditarik arus.

"Croooth", paku berkarat ukuran 2 inci menembus telapak tanganku. Genggamanku terlepas, namun tangan kananku berusaha memegang tiang kayu lainnya dan berhasil naik ketepian. Kurasakan darah mengalir, kulihat lukanya tidak terlalu lebar tapi tembusnya cukup dalam. Darah yang tumpah hilang berbaur dengan air sungai yang berlumpur.

Dalam keadaan ngilu-ngilu sakit, aku keluar dari air, darah terus mengucur dari lubang sebesar paku. Perih dari Bedapik tadi mulai terasa setelah angin menghembusnya, sekujur tubuhku memerah. Air mataku menetes bercucuran bersamaan raungan tangis kesakitan.

Dalam perjalanan menuju ke jembatan, aku meminta sedikit minyak tanah di sebuah kedai kelontong di Jalan Badur untuk menghentikan pendarahan ditanganku, namun darah dan perihnya tak juga hilang. Orang-orang yang melihat mulai menginterogasiku, aku cuek, lalu kuputuskan untuk pulang.

Sesampai di rumah, air masih setinggi pinggangku, Bapak ku marah-marah setelah melihat tanganku berdarah, yang berusaha kusembunyikan di belakang punggungku. Bapak ku memaksa ingin melihat luka itu, tetapi aku takut, karena takut disentuhnya. Tempelengan kecil mendarat di jidatku, disertai omelan Bapak ku.

Banjir Kampung Aur Tahun 2011
Ketika aku mengatakan tanganku luka tertancap paku, Bapak ku langsung mengambil kotak korek api dari saku bajunya, lalu beberapa pentol korek api itu dikeluarkan. Dia meraih tanganku dan aku menjerit sejadi-jadinya. Dia bersihkan sisa-sisa darah yang mengering di sekitar luka. Lalu sebuah pentol korek api diambil mesiunya, dijadikan serbuk, dan ditaburkan tepat diatas luka. Aku hanya bisa melihat apa yang dilakukan Bapak ku, dengan rasa ngeri yang luar biasa.

Kemudian sebuah pentol lagi diambil, tangan kirinya memegang kotak korek api itu dan tangan kanannya dalam posisi siap menyalakan pentol korek api itu ke bagian pemantik berwarna coklat yang terletak disamping kotak korek api itu.

"Crasshh...!!?" pentol korek api itu mengeluarkan api, marak, lalu api itu tenang. Tak lama, Bapak ku mendekatkan api itu kearah serbuk mesiu korek api yang terletak di mulut luka di telapak tanganku. Tanganku digenggamnya.

Dan sekali lagi, "Crasshh...!!?" mesiu korek api itu menyala, membakar luka, lalu padam. Asap putih membumbung tinggi, menghilang ditiup angin. Dengan refleks aku tarik tangan ku dari genggaman Bapak ku, dan tangan kananku menggenggam erat pergelangan tangan yang terluka itu. Aku menjerit sekuat-kuatnya karena sakit yang teramat sangat. Luka itu tampak memutih tanda bekas mesiu yang terbakar, berdenyut disertai bau daging terbakar melintas di hidungku. Cucuran air mata kian bertambah deras.

Tetapi Bapak ku mengulanginya sampai ketiga kali, sampai cairan darah berhenti mengalir, denyutnya pun mulai menghilang dan aku tidak lagi merasakan sakit. Pengobatan ala Bapak ku itu benar-benar menyiksa tapi membuyarkan rasa penderitaanku. Usai melakukan pengobatan alternatif, Bapak ku mengatakan, itu (cara seperti itu) ampuh menghentikan pendarahan, rasa sakit dan membunuh bakteri penyebab tetanus dan infeksi.

Aku mengangguk bukan karena mengerti. Toh, akhirnya luka itu sembuh juga dalam 3 hari. Sejak saat itu, ketika kaki dan telapak tanganku terkena paku, tanpa bantuan Bapak ku, aku melakukan pengobatan itu sendiri, sampai sekarang... Allahu 'Alam. 

**** Jangan meniru cara pengobatan seperti itu. Aku pun tidak tahu kenapa itu bisa berhasil..

1 comment: