Tepian Sungai Deli, Kampung Aur |
Diceritakan : Donny Philli
KETIKA musim banjir kampung kami pasti ikut juga terendam. Kampung Aur yang berada di tengah Kota Medan, persis terletak di pinggiran Sungai Deli. Biasanya setiap musim banjir, anak-anak Kampung Aur, kegirangan.
Waktu itu aku masih berusia 9 tahun, dengan
bertelanjang badan tanpa sehelai benang pun, lazimnya anak-anak, bersama
kawan-kawan pergi ke jembatan Jalan Letjend Soeprapto, yang dikenal
dengan sebutan jembatan HVA, adalah satu-satunya jembatan di Kampung
Aur.
Dari atas pagar besi jembatan buatan Kolonial
Belanda tahun 1912 itu, kami melakukan uji nyali. Secara bergantian,
kami terjun dari pagar jembatan itu mencebur ke dalam sungai yang airnya
dalam berwarna kuning berlumpur mengalir dengan deras, disertai
sampah-sampah dari batang dan ranting pepohonan yang hanyut terbawa
banjir. Brrr...! Dingin sekali.
Macam-macam gaya kami ketika
terjun ke sungai yang cukup dalam itu. Iwin, Rustam, Ison dan Tito
terjun dengan gaya bebas yang biasa-biasa saja, sedangkan Idus, Iim,
Wilman mencoba dengan gaya terjun meluncur bak Superman yang sedang
terbang (kami menyebutnya lompat kepala). Yang lain, Agus dan Dian
mencari teknik sendiri dengan gaya salto. Ada yang salto dengan posisi
membelakangi sungai dan salto menghadap sungai (salto depan).
Sedangkan
aku meskipun bisa semuanya, lebih suka dengan gaya salto belakang,
karena saat penceburan di air selalu dengan posisi bagus. Asyik rasanya.
Pernah aku mencoba dengan gaya salto depan, namun saat mencebur posisi
tubuhku tertelungkup. Akibatnya, yang duluan sampai dipermukaan air
adalah muka, dada dan paha.
"Ctaasshh," bunyi suara tubuh
menghantam air, seperti bunyi tepukan telapak tangan. "Bedapik"
istilahnya. Sayup-sayup terdengar suara terkekeh-kekeh dari atas sana,
teman-teman meledekku. Mereka menyusulku ikut melompat.
Spontan
seluruh tubuhku merasakan sakit yang teramat perih, aku tidak kuasa
menahan rasa sakit yang seperti dipukul pakai kayu penggaris oleh guru.
Tubuhku tenggelam, hanyut terbawa arus yang berhilir ke Belawan. Ada
semenit lamanya aku di dalam air, namun belum juga muncul kepermukaan.
Kurasakan dada perih, napas tertahan dan telinga berdengung. Tetapi
kemudian aku mampu menahannya dan rasa sakit itu berangsur-angsur
hilang.
Jembatan HVA Jalan Letjend Soeprapto Tahun 1995 |
Dengan menggunakan tangan
kiri, aku berusaha mencari, meraba dan menyambar tepian-tepian hingga
akhirnya aku mampu mengait sebatang tiang kayu yang papannya sudah
hilang, tiang kayu itu aku genggam kuat, tubuh kecilku ditarik arus.
"Croooth",
paku berkarat ukuran 2 inci menembus telapak tanganku. Genggamanku
terlepas, namun tangan kananku berusaha memegang tiang kayu lainnya dan
berhasil naik ketepian. Kurasakan darah mengalir, kulihat lukanya tidak
terlalu lebar tapi tembusnya cukup dalam. Darah yang tumpah hilang
berbaur dengan air sungai yang berlumpur.
Dalam keadaan
ngilu-ngilu sakit, aku keluar dari air, darah terus mengucur dari lubang
sebesar paku. Perih dari Bedapik tadi mulai terasa setelah angin
menghembusnya, sekujur tubuhku memerah. Air mataku menetes bercucuran
bersamaan raungan tangis kesakitan.
Dalam perjalanan menuju ke
jembatan, aku meminta sedikit minyak tanah di sebuah kedai kelontong di
Jalan Badur untuk menghentikan pendarahan ditanganku, namun darah dan
perihnya tak juga hilang. Orang-orang yang melihat mulai
menginterogasiku, aku cuek, lalu kuputuskan untuk pulang.
Sesampai
di rumah, air masih setinggi pinggangku, Bapak ku marah-marah setelah
melihat tanganku berdarah, yang berusaha kusembunyikan di belakang
punggungku. Bapak ku memaksa ingin melihat luka itu, tetapi aku takut,
karena takut disentuhnya. Tempelengan kecil mendarat di jidatku,
disertai omelan Bapak ku.
Banjir Kampung Aur Tahun 2011 |
Kemudian sebuah pentol lagi diambil, tangan kirinya
memegang kotak korek api itu dan tangan kanannya dalam posisi siap
menyalakan pentol korek api itu ke bagian pemantik berwarna coklat yang
terletak disamping kotak korek api itu.
"Crasshh...!!?" pentol
korek api itu mengeluarkan api, marak, lalu api itu tenang. Tak lama,
Bapak ku mendekatkan api itu kearah serbuk mesiu korek api yang terletak
di mulut luka di telapak tanganku. Tanganku digenggamnya.
Dan
sekali lagi, "Crasshh...!!?" mesiu korek api itu menyala, membakar
luka, lalu padam. Asap putih membumbung tinggi, menghilang ditiup angin.
Dengan refleks aku tarik tangan ku dari genggaman Bapak ku, dan tangan
kananku menggenggam erat pergelangan tangan yang terluka itu. Aku
menjerit sekuat-kuatnya karena sakit yang teramat sangat. Luka itu
tampak memutih tanda bekas mesiu yang terbakar, berdenyut disertai bau
daging terbakar melintas di hidungku. Cucuran air mata kian bertambah
deras.
Tetapi Bapak ku mengulanginya sampai ketiga kali, sampai
cairan darah berhenti mengalir, denyutnya pun mulai menghilang dan aku
tidak lagi merasakan sakit. Pengobatan ala Bapak ku itu benar-benar
menyiksa tapi membuyarkan rasa penderitaanku. Usai melakukan pengobatan
alternatif, Bapak ku mengatakan, itu (cara seperti itu) ampuh
menghentikan pendarahan, rasa sakit dan membunuh bakteri penyebab
tetanus dan infeksi.
Aku mengangguk bukan karena mengerti. Toh,
akhirnya luka itu sembuh juga dalam 3 hari. Sejak saat itu, ketika kaki
dan telapak tanganku terkena paku, tanpa bantuan Bapak ku, aku melakukan
pengobatan itu sendiri, sampai sekarang... Allahu 'Alam.
**** Jangan meniru cara pengobatan seperti itu. Aku pun tidak tahu kenapa itu bisa berhasil..
Ih.., ngeri kali..
ReplyDeleteapa tak takut hanyut ya